IDE UTOPIA UNTUK MUSIK INDONESIA

Saya menulis tulisan ini merespon pembajakan karya musik yang semakin hari semakin merajalela dan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit untuk industri musik Indonesia. Di sini saya ungkapkan sedikit pemikiran mengenai keadaan yang ada kemudian menyarikan ke dalam sebuah bentuk solusi yang saya rasa rasional untuk diwujudkan.

Mungkin ini tidak 100% orisinil, karena memang saya merangkum dari beberapa kondisi yang saya lihat, baca dan alami sendiri. Well, nothing’s new under the sun anyway…

KONDISI INDUSTRI MUSIK INDONESIA

Pertanyaan yang harus dilontarkan pertama kali saat kita bicara mengenai Musik Indonesia, adalah “apakah masyarakat Indonesia masih membutuhkan musik?” Jawabannya terlihat dengan sangat jelas di keseharian yang ditemui setiap hari. Semua orang, di segala penjuru negeri ini, mengkonsumsi musik secara teratur. Musik tak ubahnya seperti kebutuhan pokok manusia dalam hal hiburan.

Di Jakarta, jika anda berjalan di trotoar atau di jembatan penyeberangan, bertemu dengan orang-orang yang menjejalkan musik ke telinga mereka secara individual melalui ear phone atau head phone adalah sebuah keniscayaan. Jika anda masuk ke kantor-kantor yang ada di Jakarta, di jam kerja, mungkin akan terdengar hening, tapi bisa jadi masing-masing orang, sedang menginjeksi irama ke dalam telinga mereka masing-masing, untuk menemani kesibukan mereka. Di rumah, di pasar, di warung makan, di mall besar, di pedagang kaki lima, di dalam kendaraan umum dan tempat-tempat publik, musik masih menjadi salah satu hal yang dikonsumsi secara teratur.

Jika musik masih dikonsumsi oleh masyarakat, pertanyaan selanjutnya adalah, “bagaimana masyarakat mendapatkan musik yang mereka konsumsi secara teratur ini?”. Pertanyaan sederhana yang akan mengungkap bagaimana industri musik, di Indonesia pada khususnya dan di dunia pada umumnya sedang mengalami sebuah cobaan.

Dulu, kalau ingin menikmati musik secara pribadi, selain lewat radio, umumnya orang harus memiliki walkman, discman, cassette player, cd player, mini compo dan sebagainya; tapi hari ini, semuanya sudah terangkum dalam bentuk handphone, mp3 player, tablet PC, laptop yang bisa melakukan banyak hal lain selain untuk sekadar memutar musik. Sementara itu, internet telah membuat segalanya jauh lebih mudah untuk didapatkan, termasuk musik. Entah secara legal atau tidak.

Peer to peer file sharing seperti yang ditemui di situs macam Megaupload dan 4shared membuat orang tidak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan file yang dibutuhkan, ataupun musik yang diinginkan, karena ada beberapa orang lain yang cukup dermawan, yang dengan sukarela membagi file yang mereka miliki. Sebuah kemudahan besar untuk masyarakat, sebuah keuntungan besar untuk konsumen, namun kerugian untuk para produsen, baik label, musisi, pencipta lagu, penyanyi dan semua orang yang bergantung pada industri musik Indonesia, terutama kalau dilihat dari sudut pandang kapital. Dilihat dari sudut pandang yang lain, melalui pembajakan dan file sharing, sebenarnya distribusi pengenalan masyarakat terhadap sebuah karya musik justru terbantu. Tentu saja pengenalan, apresiasi, terima kasih dan tepuk tangan semata tidak bisa memenuhi kebutuhan semua orang. Kerugian kapital yang dialami oleh produsen ini menjadi sangat meresahkan.

PEER TO PEER FILE SHARING

Sedikit melebar ke Peer to Peer file sharing yang merupakan fasilitator utama dari maraknya pembajakan karya di seluruh penjuru dunia, situs-situs macam Megaupload dan 4shared mengumbar file-file digital yang diunggah secara sukarela secara gratis dan kemudian diunduh secara gratis oleh yang membutuhkan. Tampak seperti sebuah konsep yang sangat dermawan dan baik hati, bukan? Mungkin. Tapi di balik itu, ada keuntungan bernilai jutaan dolar yang terlibat di dalamnya.

Jika mengunggahnya gratis dan menunduhnya juga gratis, bagaimana bisa ada uang yang berputar dalam jasa yang disediakan oleh situs-situs macam ini?
Begini dinamikanya:

  1. Website menyediakan storage yang besar untuk menampung semua file yang ingin dibagi.
  2. Orang-orang saling berbagi dengan menempatkan filenya di storage yang disediakan oleh website.
  3. Orang-orang yang membutuhkan, datang ke website untuk mengambil file yang dibutuhkan.
  4. Orang-orang yang mengunggah dan mengunduh file dari website ini membuat lalu lintasnya sangat tinggi.
  5. Lalu lintas yang tinggi berarti exposure yang luar biasa.
  6. Exposure yang luar biasa, dibutuhkan oleh pengiklan untuk memasarkan produk-produknya.
  7. Pengiklan memasang iklan di website dengan nilai kontrak tertentu.
  8. Website mendapatkan uang dari iklan yang terpampang di halaman-halamannya. Nilainya tidak sedikit.
  9. Pemilik karya atau pemilik hak atas karya yang file digitalnya dishare tidak mendapatkan apa-apa.

Jadi melalui sistem peer to peer file sharing ini, ada 5 pihak yang terlibat:

  1. Pemilik Website: mendapatkan keuntungan besar melalui iklan yang dipasang di halaman-halamannya, dan tidak bisa dituntut sebagai pembajak karena pada dasarnya mereka hanya menyediakan tempatnya saja.
  2. Pemasang Iklan: mendapatkan keuntungan karena marketing campaignnya berjalan efektif dan produknya terlihat oleh banyak pengguna internet yang datang ke website.
  3. Pengunggah File: tampaknya seperti tidak mendapatkan keuntungan, tapi bisa jadi digerakkan oleh pemilik website untuk menyediakan file digital yang bisa dibagi-bagi, sehingga lalu lintas websitenya tinggi.
  4. Pengunduh File: mendapatkan file yang dibutuhkan, dalam bentuk musik, film, software, dsb secara gratis.
  5. Pemilik Karya dan Hak atas Karya: tidak mendapatkan apa-apa dalam dinamika ini.

Agak menyedihkan memang untuk pihak ke-5, tapi begitulah realitasnya.

SEKADAR IDE UTOPIA

Industri adalah sebuah produk kapitallisme, dan peer to peer file sharing adalah sebuah produk sosialisme yang mungkin paling nyata pada zaman ini. Bagaimana kita bisa mengawinkan dua produk ini dan membuat semua orang senang?

Begini idenya dan implementasinya untuk dunia industri musik Indonesia:

  1. Semua label, recording company, pemilik karya, musisi dan pencipta lagu berkoalisi untuk membuat sebuah portal, website yang menampung semua karya mereka.
  2. Harus hanya ada 1 website, sehingga semuanya terakomodasi di dalam 1 tempat. Kalau masing-masing label / management membuat website yang terpisah-pisah, konsumen akan disulitkan.
  3. Semua pihak yang termasuk produsen musik mempromosikan website ini lewat social media dan media-media yang lain mendorong penikmat musik Indonesia untuk datang ke website ini.
  4. Semua pengguna internet diizinkan untuk mengunduh file musik dari website ini.

Beberapa kategori keanggotaan berdasarkan kualitas file bisa diterapkan dalam hal ini, contohnya:

  1. Free: Bisa mengunduh file mp3 dengan resolusi 128 Kbps secara gratis
  2. Gold : Bisa mengunduh file mp3 dengan resolusi 256 Kbps dengan membayar sejumlah biaya keanggotaan tertentu.
  3. Platinum: Bisa mengunduh file audio lossless dengan membayar sejumlah biaya keanggotaan yang lebih tinggi dari Gold

Dibuat mobile version dan aplikasi dari website ini, sehingga pengguna internet juga bisa mengunduh file langsung dari gadget mereka.
Bagaimana dari sistem ini hak dari produsen musik bisa terlindungi? Begini mekanismenya:

  1. Kalau semua penikmat musik Indonesia datang ke situs ini untuk mendownload file audio, lalu lintasnya website akan menjadi tinggi.
  2. Dengan lalu lintas tinggi, seperti yang terjadi di situs file sharing, pengiklan akan tertarik memasang iklan.

Pendapatan iklan ini yang akan melindungi hak para produsen musik. Bagaimana bisa pengiklan melindungi produsen musik? Begini caranya:

  1. Pengiklan bisa memasang iklan di home page dari website dengan nilai kontrak tertentu. Uang yang didapatkan dari spot banner, header, thumbnail atau apa pun juga bentuknya di home page ini digunakan untuk biaya operasional website. Biaya yang harus dikeluarkan oleh pemasang iklan untuk spot halaman depan ini tetap, misalnya Rp 10.000.000 / minggu.
  2. Sewaktu seseorang ingin mengunduh sebuah file, dia harus mengeklik sebuah link yang akan mengarahkannya ke sebuah halaman lain yang juga dipasangi iklan. Pemasang iklan harus membayar sejumlah uang tertentu setiap kali tombol “download” diklik oleh pengguna internet. Misalnya Rp 3.000 / klik. Uang ini akan diberikan kepada pemilik karya, yaitu label rekaman, musisi, pencipta lagu dsb sesuai dengan prosentase yang sudah disetujui masing-masing pihak.

Kalau sistem ini berjalan, semua pihak sebenarnya akan diuntungkan.

  1. Pengguna internet / Penikmat musik Indonesia bisa mendownload dan menikmati lagu Indonesia dengan gratis dan legal, segratis dan selegal oksigen!
  2. Pemasang iklan mendapatkan exposure yang bagus dengan membayar sejumlah uang yang pantas dikeluarkan dalam marketing campaign mereka.
  3. Produsen lagu mendapatkan penghargaan kapital yang layak dari karya mereka. Label rekaman, artis, management, pencipta lagu, masing mendapatkan bagian yang layak, belum lagi jika dilihat dari sudut pandang tidak adanya biaya produksi kaset/CD dan cover yang harus dikeluarkan, keuntungannya beberapa kali lipat.

Demikian sekadar ide utopia mengenai musik Indonesia yang tampaknya sangat mungkin diimplementasikan untuk menjadi sebuah solusi alternative menghadapi pembajakan karya yang semakin merajalela. Sedikit tambahan dari seorang rekan:

Di Amerika Serikat, industri musik juga terselamatkan utamanya berkat iTunes Store. Saat menggandeng label rekaman, Steve Jobs menawarkan pernyataan “Apakah kalian ingin ikut dengan kami (iTunes Store) atau musik kalian akan terus menerus dibajak. Jika ingin ikut, kita harus memotong track-track dalam lagu (bukan lagi 1 album) dan menyediakan harga yang murah per lagu”.
Dengan cara seperti ini sebenarnya artis juga ikut terpacu membuat lagu yang baik,karena track lagu tidak harus dimiliki satu album utuh. Murni pasar yang menentukannya.

Intinya, pembajakan karya di era digital sekarang ini tampaknya sangat sulit untuk diperangi, makanya bagaimana caranya menggunakan sistem yang digunakan dalam pembajakan untuk mengatasi pembajakan itu sendiri. Golok kalau tidak digunakan untuk menebas leher orang, bisa dimanfaatkan untuk memotong-motong singkong, bukan?

Moga-moga urun rembug saya ini bisa berpartisipasi positif untuk perkembangan musik Indonesia yang sedang agak lesu akhir-akhir ini digerus oleh pergerakan musik internasional, terutama dari Amerika Serikat dan Korea yang semakin gila-gilaan.

Tinggalkan komentar